Sejarah Konservasi di Indonesia
Sejarah
konservasi Sumber Daya Alam Indonesia secara sederhana dibagi menjadi
tiga periode, yaitu : zaman kerajaan nusantara, zaman colonial, dan
zaman kemerdekaan.
Pada
zaman kerajaan nusantara, sebelum abad ke-15, tradisi sakral sangat
mewarnai segenap kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat waktu itu
sangat kental dengan kepercayaan mistis dan kekuatan alam, yang terwujud
dalam penabuhan benda-benda, pendirian situs-situs, dan tindakan
tertentu. Misalnya, terdapat larangan dalam masyarakat untuk tidak
mengambil jenis-jenis pohon atau batu-batu tertentu, larangan memasuki
kawasan tertentu, seperti gunung, rawa, ataupun hutan yang dianggap
keramat.
Pada
waktu itu hubungan antara manusia dengan alam lebih didasarkan atas
dasar membangun hubungan harmonis dengan alam. Alam dianggap sebagai
sesuatu yang suci (sacred), yang dapat memberikan berkah bagi
kehidupan. Para raja menjalankan ritual-ritual berupa penghormatan
kepada penguasa alam yang diyakininya dengan mendirikan tempat pemujaan
dewa-dewa dan roh-roh leluhur.
Di
zaman kolonial Belanda, praktek pelestarian alam tidak dapat terlepas
dari dua peristiwa kecil. Pada 1714, Chastelein mewariskan dua bidang
tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk
digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat). Chastelein
mengharapkan agar kawasan tersebut bisa dipertahankan, tidak
dipergunakan sebagai arela pertanian. Selanjutnya, pada 1889
berdasarkan usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor,
kawasan hutan alam Cibodas ditetapkan sebagai tempat penelitian flora
pegunungan, yang kemudian diperluas hingga pegunungan Gede dan Pangrango
pada 1925.
Wacana
konservasi kembali muncul pada akhir abad 19, tepatnya pada 1896,
dimana saat itu pemerintah colonial belanda mendapat tekanan dari luar
Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cendrawasih secara liar.
Pada
saat itu, seorang entomology amatir M.C. Piepers yang juga mantan
pegawai Departemen hukum Hindia Belanda mengusulkan agar tindakan
perlindungan burung cendrawasih serta beberapa flora dan fauna lainnya
yang terancam punah. Ia menyarankan agar dibuat suatu taman nasional
seperti Yellowstone National Park yang secara resmi melindungi
spesies-spesies terancam punah.
Tekanan
untuk kejadian burung-burung cendrawasih tersebut kemudian melahirkan
undang-undang Perlindungan Mammalia liar dan Burung Liar yang
dikeluarkan pada 1910. Undang-undang tersebut berlaku di seluruh
Indonesia.
Pada 1912 pernah didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming
(perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S.H. Koorders
dkk. Kemudian, pada 1913 perhimpunan ini berhasil menunjuk 12 kawasan
yang perlu dilindungi di Pulau Jawa. Setelah dilanjutkan dengan
penunjukan kawasan lindung di pulau jawa hingga Sumatera dan Kalimantan.
Tonggak sejarah baru dimulai pada 1932, dengan diundangkannya Natuur Monumenten Ordonatie
atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Ordonasi ini kemudian
diterbitkan oleh Peraturan Perlindungan Alam. Pada tahun tersebut mulai
dimungkinkan adanya kegiatan di kawasan konservasi dengan izin,
misalnya berburu di taman alam.
Selama
pendudukan Jepang (1942 – 1945) secara umum kondisi perlindungan alam
di Indonesia kurang diperhatikan. Sebelumnya, dalam sejarah pengelolaan
jati di Jawa oleh Belanda, pada 1929 telah berhasil menata 31 unit
wilayah pengelolaan hutan seluas 627.700 ha. Namun pada saat pendudukan
Jepang, telah terjadi eksploitasi besar-bearan dan merugikan. Tercatat
pada tahun 1944, kayu jati telah ditebang mencapai 120.000 – 150.000 m3
untuk membuat kapal. Kayu-kayu dari hutan juga banyak dibakar untuk
guna mendukung pabrik-pabrik yang menggerakan kereta api. Pada masa
tersebut, Jepang banyak menguras hutan jati di Jawa untuk keperluan
perang Asia Timur Raya.
Setelah
kemerdekaan, pada 1947 upaya perlindungan alam dimulai kembali, yakni
dengan penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam baru atas prakarsa dari
Raja-raja Bali Sendiri. Setelah itu, pada 1950 Jawatan Kehutanan RI
mulai menempatkan seorang pegawai yang khusus diserahi tugas untuk
menyusun kembali urusan-urusan perlindungan alam.
Pada
tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis
artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan
Tectona.
Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.
Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources)
ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia
mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada konferensi tersebut wakil dari
Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul “Suaka Alam dan Taman
Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan
Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan
positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap
kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.
Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.
Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di fakultas-fakultas kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Bahkan di beberapa fakultas kehutanan sudah dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.
Dari segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga banyak mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia yang menangani tentang konservasi alam.